
Pemerintah yang Siap Terus Melanjutkan Program Hilirisasi: Kenapa Ini Gak Boleh Gagal Lagi
Waktu pertama kali dengar kata “hilirisasi,” jujur aja, kepala saya agak ngeblank. Kedengeran kayak jargon kebijakan yang cuma nyangkut di seminar atau headline berita. Tapi makin saya pelajari, makin sadar: ini bukan cuma soal industri, ini soal nasib ekonomi kita ke depan. Dan ya, saya sempet skeptis di awal, sampai saya lihat langsung dampaknya di lapangan.
Saya inget banget waktu mampir ke Morowali beberapa tahun lalu (bukan trip liburan, tapi ikut rombongan diskusi soal industri nikel). Di sana, saya ketemu pekerja lokal yang dulunya buruh kasar, sekarang udah jadi operator mesin di pabrik pemurnian nikel. Gaji naik, skill naik, bahkan katanya dia bisa cicil rumah dari penghasilannya sekarang. Itu titik di mana saya mulai mikir, “Oke, ini serius.”
Program hilirisasi ini intinya sederhana kok (walau eksekusinya gak sesederhana itu ya). Daripada kita ekspor bahan mentah—kayak nikel, bauksit, sawit, batu bara—kenapa gak kita olah sendiri? Nilai tambahnya gede, lapangan kerja bisa meningkat, dan devisa kita gak cuma numpang lewat.
Tapi ya tentu aja, semua itu nggak berjalan mulus.
Salah satu momen frustasi yang saya inget banget tuh pas ngobrol sama pengusaha kecil di sektor kelapa sawit. Dia bilang, “Kalau pabrik pengolahan gede-gedean didirikan, kita yang kecil-kecil ini cuma jadi penonton.” Dan itu bener juga sih. Kadang hilirisasi kesannya cuma dinikmati perusahaan besar. Padahal harusnya UMKM juga bisa dapat potongan kue yang sama.
Nah, di sinilah peran pemerintah jadi krusial banget. Kalau cuma setengah-setengah atau fokus di satu titik aja, ya bakal timpang. Tapi saya lihat sekarang, pemerintah mulai berani untuk melanjutkan hilirisasi secara menyeluruh dan lintas sektor, bahkan meski banyak tekanan dari luar negeri (dan dari dalam juga, jujur aja).
Misalnya, larangan ekspor nikel mentah yang dulu sempat menuai kontroversi ternyata sekarang justru bikin kita jadi pusat produksi baterai kendaraan listrik. Negara-negara luar mulai melirik, dan itu bukan karena kita punya bahan bakunya aja, tapi karena kita berani olah sendiri.
Saya pribadi belajar banyak dari perjalanan ini, walau bukan pelaku industri. Salah satu hal yang paling saya tekankan ke teman-teman content creator dan pelaku UMKM adalah: kita harus ikut nimbrung dalam gelombang hilirisasi ini.
Gimana caranya?
Cari tahu potensi industri lokal di daerah kita. Di Sulawesi? Mungkin nikel atau kakao. Di Sumatra? CPO atau karet. Kenalin dulu bahan mentahnya.
Bangun branding dari sisi hilir. Misalnya, kalau kamu biasa jual kopi mentah, kenapa gak coba bikin produk turunan kayak kopi bubuk organik atau cold brew lokal?
Kolaborasi dengan pelaku industri besar. Banyak BUMN dan swasta yang buka ruang kolaborasi, asal kita proaktif.
Upgrade skill digital. Karena hilirisasi itu gak harus selalu soal pabrik. Bisa juga soal konten, packaging, marketing—semuanya butuh sentuhan digital.
Saya gak bilang ini bakal gampang. Banyak tantangan, dari perizinan yang kadang ruwet, akses modal yang minim, sampai SDM yang masih harus digenjot. Tapi kalau kita nunggu semuanya sempurna, gak akan mulai-mulai.
Buat saya, yang paling penting adalah komitmen jangka panjang. Pemerintah boleh berganti, tapi arah kebijakan harus konsisten. Jangan baru setengah jalan udah belok ke urusan politik jangka pendek. Karena sekali kita berhenti, negara lain udah lari duluan.
Jadi, kalau kamu juga sempat mikir hilirisasi ini cuma proyek elit, coba deh lihat dari kacamata lapangan. Banyak yang udah mulai naik kelas karena program ini. Kita, sebagai rakyat atau pelaku usaha, juga bisa ambil bagian—asal mau belajar, beradaptasi, dan gak nunggu bola.